
MOJOKERTO | tarunanews.com- Kekuatan kekuasaan sentral di Indonesia saat ini cenderung mengerucut kepada dua patron yaitu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), lalu PDIP (sendiri atau mungkinkah dkk?), yang berusaha mengendalikan berbagai hal termasuk kemungkinan Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari 2024 yang didalamnya terdapat Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilu November 2024 yang didalamnya terdapat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak seluruh Indonesia mulai dari Pemilihan Bupati (Pilbup) / Pemilihan Walikota (Pilwali) hingga Pemilihan Gubernur (Pilgub). Kurang lebih hal tersebut diungkapkan Ahmad Taji (Gus Taji) salah satu tokoh berpengaruh, dalam diskusi terbatas.
Jokowi menunjukkan berbagai kekuatannya, diantaranya melalui gabungan para relawan yang secara berkala mengadakan pertemuan menjadi semacam ‘public pressure’ sekaligus sebagai pegangannya. Sementara mengenai parpolnya yang mengarah menuju parpol lain, bisa gabungan parpol atau bisa juga nantinya pada salah satu parpol.
Menurut Ahmad Taji, para Calon Kepala Daerah (Cakada) – Calon Wakil Kepala Daerah (Cawakada) yang tidak ‘nyantol’ ke pusat akan tetapi hanya nyantol kepada kepengurusan parpol tingkat daerah, bisa saja akan banyak kecewa jika tidak mendapatkan rekom dari pusat untuk maju Pilkada meskipun telah habis banyak ngopeni parpol di tingkat daerah. “Kebanyakan yang tingkat daerah tidak bisa menjamin rekom dari pusat,” ungkap Ahmad Taji, seraya mengungkap adanya dugaan untuk upeti rekom pada umumnya yang masih sangat tinggi di pusat meskipun beberapa kalangan pejabat tinggi sempat mengkritisi termasuk Menkopolhukam Mahfud MD dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian akan tetapi minim teladan.
Menurut Ahmad Taji dengan dugaan tangan-tangan terselubung, berbagai kasus hukum bisa ditimpakan kepada pihak-pihak Cakada yang tidak nyantol ke pusat. Meskipun Cakada itu ibaratnya memiliki raport yang lebih baik, akan tetapi jika tidak nyantol ke pusat maka kemungkinannya lebih besar untuk ditimpa kasus hukum. “Jadi pada intinya bukan bicara siapa yang lebih baik, akan tetapi siapa yang paling berkuasa. Kalau sudah seperti itu, mana pembelaan terhadap Wong Cilik?” cetus Ahmad Taji.
Akan tetapi menurut Ahmad Taji, ada dugaan yang lebih parah adalah yang sehubungan Pilpres. Calon Presiden (Capres) – Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang tidak bermuara terhadap hal tersebut maka kemungkinan bisa berguguran sebelum Hari H Pelaksanaan Pencoblosan. Bahkan akan dihadang jauh-jauh hari sebelumnya, dengan harapan agar tidak terlalu menyolok rekayasa untuk menggagalkan.
“Ada kemungkinan dugaan juga ditimpa dengan kasus agar tidak bisa maju Capres – Cawapres. Kalau sudah seperti itu jika benar-benar terjadi, berarti sistem apa yang dipakai? Apakah itu yang namanya demokrasi ataukah menang-menangan, main kekuasaan?” ketus Ahmad Taji.
Dalam hal menuju Pilkada 2024, Ahmad Taji memuji sejumlah pihak yang berusaha menggunakan cara-cara yang lebih fairplay dengan menata jaringan jauh-jauh hari, salah satunya yang dilakukan Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim (Kyai Asep) untuk Pilkada Kabupaten Kota Mojokerto November 2024. Menurut Ahmad Taji, membangun jaringan dari bawah adalah sah-sah saja bahkan hal tersebut merupakan salah satu inti yang utama.
“Kyai Asep ngopeni banyak dari bawah dengan ketulusan beramal karena Kyai Asep bukan politisi murni. Bahkan bisa disebut bukan politisi. Kyai Asep bergerak untuk kesejahteraan rakyat. Namun meskipun begitu, perlu nyantol ke pusat yang mengerucut pada dua,” tandas Ahmad Taji seraya menyebut bahwa cita-cita untuk peduli kesejahteraan rakyat pun bisa dihadang oleh pihak yang main kekuasaan.
Menurut Ahmad Taji, kebanyakan parpol tingkat daerah tidak bisa mensikronkan dengan pusat akan tetapi bahkan terlalu amat sangat takut dengan pusat. Dengan kata lain menurutnya, kebanyakan tidak bisa menjamin rekom. Dan jalur yang tidak bisa menjamin rekom tersebut, pada saat kemungkinan menjelang dibutuhkan malah bertarif mahal atau memberi rekom ke pihak lain. (EsKa).
>