
( Nama : Riska Indah Puspita
NIM : 21801091048
Prodi : Ilmu Administrasi Publik (3B) – Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas : Universitas Islam Malang
Mata Kuliah : Hukum Administrasi Publik )
Perkembangan teknologi yang sangat pesat membawa dunia ke dalam masa baru yaitu era milenial. Teknologi memiliki peranan yang sangat penting pada era milenial, salah satu peranan yang berpengaruh besar adalah sosial media. Pada era ini, yang menjadi ciri khas pemuda di era milenial dengan pemuda sebelumnya adalah perkembangan teknologi sekarang ini yang telah menjadikan para pemuda milenial masuk dalam dunia digital.Inilah salah satu letak perubahan tantangan generasi muda. ‘Zaman now’ adalah sebutan bagi kaum milenial untuk menggambarkan masa kini. Itulah yang seharusnya kita jadikan patokan atau acuan bahwa kita sebagai pemuda harus bisa merubah keadaan bangsa dalam berbagai bidang sektor, terutama sektor politik.
Berbicara tentang politik, secara umum di dalamnya ada tanggung jawab. Keberagaman harus dimaknai dengan kekayaan bukan untuk dipertentangkan. Namun segelintir orang telah menyalahgunakan sehingga yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi atau harapan.Yang mana katanya aktifitas ‘politik’ identik dengan orang-orang yang merebut kekuasaan demi jabatan dan uang. Tak ayal kebanyakan dari pemuda menghindari dunia politik karena dianggap sebagai sarangnya kejahatan. Tanpa kita sadari inilah yang memperparah keadaan poitik kita, baik dari kemampuan maupun integritas yang menjadi berkurang.Bahkan ironisnya ini sudah dianggap hal yang lumrah. Karena masalah politik sudah menjadi rahasia umum, dimana para pemangku kekuasaan adalah orang-orang yang mementingkan kepentingannya diatas kepentingan rakyat.
Banyak sekali contoh masalah yang berkaitan dengan politik yang sering terjadi di Indonesia salah satunya adalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang sampai sekarang tidak menemukan titik terang untuk pencegahannya. Walaupun pada dasarnya, sudah ada hukum yang mengatur tentang KKN ini. Namun, mereka seperti orang yang buta dan tuli akan hukum. Padahal mereka adalah orang-orang yang pakar dalam bidang hukum. Sudah saatnya bagi para pemuda melaksanakan perannya sebagai agent of change yaitu mendorong terjadinya inovasi bangsa kearah yang lebih baik termasuk dalam politiknya. Kita para pemuda harus peduli dan optimis untuk menciptakan kualitas politik yang baik di negara yang tercinta ini. Karena perbaikan politik hanya akan terjadi apabila ada orang yang baik, professional, dan berintegritas masuk kedalamnya.
Politik di negara kita sudah lama dipegang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang hanya karena jabatan dan uang semata mereka menghalalkan segala cara. Hal inilah yang membuat politik kita menjadi kotor. Saya yakin apabila politik digunakan sebagaimana mestinya akan mampu mensejahterakan rakyat, memajukan pembangunan dan membawa negara Indonesia menjadi negara yang maju. Dari bacaan saya ada lima karakteristik pemimpin yang baik sebagai agent of change. Pertama, memiliki visi yang jernih. Sebagai seorang pemimpin kita itu harus memiliki target yang jelas sehingga sistem kerja dapat disusun dengan baik dan dengan tahapan yang berkesinambungan. Kedua, memiliki kegigihan untuk mencapai target. Ketiga, bersikap kritis dan analistis. Mengapa harus demikian? Karena sebagai seorang pemimpin yang baik, kita harus menggunakan akal sehat untuk berfikir, sehingga tidak ada hal yang langsung ditelan mentah-mentah. Keempat, sarat akan pengetahuan dan memimpin dengan memberikan contoh bukan hanya dengan intruksi. Kelima, membangun hubungan yang kuat dengan orang-orang sekitarnya. Dengan kata lain, kita sebagai pemimpin harus memiliki integritas agar dapat dipercaya.
Jadi kunci kesuksesan negara ini ada di tangan pemuda-pemudi Indonesia, maka sadar untuk tingkatkan peranmu dan ketahui fungsimu di bangsa ini. Lalu terapkanlah sebagai mana mestinya. Sudah waktunya pergerakan-pergerakan pemuda Indonesia kembali bangkit. Kita adalah pemegang tumpuk perjuangan. Berjuanglah untuk mengembalikan rasa keadilan bagi seliuruh rakyat Indonesia. Kalau ingin menang Pilkada 2020, maka calon wali kota atau bupati yang diusung harus sosok yang dikenal masyarakat, memiliki kapasitas dan kapabilitas. Sehingga banyak muncul fenomena caplok-mencaplok antar kader partai, seperti yang terjadi di beberapa daerah pada pilkada-pilkada sebelumnya. Demikian dikatakan Ketua Komisi A DPRD Provinsi Jateng, Muhammad Saleh ST usai menyampaikan materi ‘menyongsong Pilkada 2020, kemarin. “Jadi figur telah menggeser dominasi mesin parpol dalam memengaruhi pilihan. Dalam kontestasi pilkada, figur yang diusung jauh lebih penting ketimbang partai yang mengusung,” ucapnya.
Faktor efek ekor jas, sambungnya, membuat partai politik berlomba mencari figur atau kandidat yang potensial menang meski bukan dari kadernya sendiri. Sehingga impor figur antar kader partai akan kembali dilakukan sebagai usaha memenangi kompetisi Pilkada. Tantangan ini, sambung Politisi Golkar itu, tak dapat dielakkan lantaran pilkada serentak 2020 punya makna strategis bagi partai politik, yakni sebagai ajang untuk memanaskan mesin politik menuju Pemilu 2024. “Di sisi lain, partai akan berjuang habis-habisan untuk bisa meraih kemenangan sebesar-besarnya di setiap daerah. Matematika politik parpol mengatakan bahwa semakin banyak kader terpilih sebagai kepala daerah, semakin kuat kaki politik sebuah partai untuk menyongsong pemilu 2024,” bebernya. Ditanya soal kecurangan di dalam pilkada? Saleh menyebut dapat dibagi dua. Kecurangan saat pilkada dan kecurangan pra-pilkada. Kecurangan pada saat pilkada dimulai ketika sang kandidat sudah ditetapkan KPU sebagai peserta (kandidat) pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara. “Dalam hal ini, kecurangan bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil perolehan suara. Sedangkan kecurangan pra-pilkada biasan melibatkan kontestan atau melibatkan penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya, KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pilkada atau sebaliknya,” ungkapnya.
Saleh menambahkan, dilihat dari demografi pemilih, pilkada serentak 2020 akan didominasi pemilih milenial. Kondisi itu perlu menjadi catatan penting lantaran tren kepemimpinan milenial juga sedang naik daun. Milenial kini bukan sekadar objek politik, tapi sebagian besar sudah menjadi subjek politik. “Terpilihnya 52 anggota DPR RI dari kalangan milenial, 1 menteri dan 2 wakil menteri dari kelompok milenial, serta 7 staf khusus presiden juga dari generasi milenial menunjukkan bahwa gelombang kepemimpinan milenial sedang terjadi di Indonesia. Tak tertutup kemungkinan tren itu juga akan berlangsung dalam kontestasi pilkada 2020,” ungkapnya. Pola kampanye seiring hadirnya era technopolitic, Saleh menambahkan, mengutip Victor Sampredo dalam Introduction: New Trends and Challenges in Political Communication (2011), technopolitic dimaknai sebagai fenomena meleburnya antara teknologi dan politik. “Technopoliticmembuat wajah politik berubah. Sebagai contoh, pola-pola mendekati masyarakat pemilih (kampanye) secara konvensional seperti pengerahan massa serta pemasangan baliho dan spanduk akan mulai bergeser. Kampanye akbar mulai bergeser menjadi berbasis personal dan kampanye di media massa mulai bergeser ke media sosial,” pungkasnya.
>