( oleh : Drs. Kartiwi )

Pertanyaannya : Apakah ada Pilbup yang tidak demokratis? Jawab : Ada.

Paparan argumentasi di atas mengacu pada konteks pesta demokrasi di Kabupaten Mojokerto.

Pekan kemarin, saat berdiskusi dengan kawan sesama aktivis LSM, terlontar statemen bahwa dua periode penyelenggaraan Pemilihan Bupati (Pilbup) di Mojokerto sesungguhnya berjalan tidak demokratis. Yakni tahun 2010 dan 2015. Dua kali itu pula event politik berlangsung dramatis menegangkan. Yang hanya berkutat di seputar aspek hukum dan tata tertib. Bukan pada konsentrasi kompetisi sehat dalam berdemokrasi.

Dicoretnya nama Gus Dim (KH. Dimyati) oleh KPU dengan alasan kesehatan sangat memukul perasaan para pendukungnya. Hingga situasi terus memanas, tidak kondusif, bahkan berjalan di luar kendali. Berujung anarkis dijebolnya pagar besi gedung DPRD. Pembakaran puluhan mobil dinas (plat merah) yang tengah diparkir di halaman kantor Pemkab.

Gus Dim yang dijago dan diprediksi banyak pihak akan menang ternyata terjungkal. Kalah sebelum bertanding.

Elektabilitas Gus Dim saat itu berada di atas angin. Kalkulasi politik di atas kertas pasti menang. Mojokerto jelas milik Gus Dim. Namun nyatanya keok. Suara rakyat adalah suara Tuhan berubah seketika. Menjadi suara rakyat adalah suara kekecewaan. Realitas politik ditumbangkan dengan logika hukum / tata tertib yang premature.

Baca Juga :  Bersama Kompi Polwan Asmaul Husna Kapolda Jatim memimpin langsung pengamanan demo buruh didepan Gedung DPRD Jatim

Pilbup tidak demokratis kedua. Terjadi saat Mustofa Kamal Pasa (MKP) memborong habis tiket kendaraan partai politik. Lalu untuk “lips service” demokrasi diangkatlah Misnan sang sopir pribadi untuk maju melalui jalur independen. Otomatis suara Bu Nisa’ (Dra. Hj. Choirun Nisa’) gugur juga. Padahal blunder mayoritas pemilih mengarahkan dukungannya ke Bu Nisa’. Beda dengan Gus Dim, Ibu Muslimat NU ini kalah di persidangan DKPP Jakarta.

Implikasi hukum, akhirnya Bu Nisa’ dicoret KPU dan tidak ikut dalam gelanggang Pilbup Mojokerto.

Sekali lagi, dua perhelatan akbar demokrasi 5 tahunan di Kabupaten Mojokerto lumpuh. Tak berdaya menghadapi kekuatan hegemoni MKP. Yang selalu menang telak dan mutlak. Walau hal itu telah membikin cahaya demokrasi tampak redup nyaris mati.

Kini jelang memasuki angka kembar, tahun 2020, yang tinggal menghitung hari. Aura Demokrasi di Kabupaten Mojokerto bakal diuji lagi. Akan kah mengalami nasib serupa. Akan kah muncul mascot baru sekelas MKP. Akan kah ada skenario baru dari intervensi tangan-tangan tak kelihatan. Akan kah ada jaminan bahwa praktek penyelenggaraan demokrasi Mojokerto di masa depan bakal berjalan mulus, sehat, sesuai kaidah hati nurani dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Baca Juga :  Dijabarkan Visi Misi Lembaga GPRI Anti Korupsi oleh Ketua umum ermansyah

Penulis yakin, kita semua warga masyarakat Mojokerto yang mempunyai hak pilih adalah bagian dari warga bangsa yang cinta tanah air. Taat pada Undang Undang dan aturan main. Tentunya sangat mendambakan hadirnya figur pemimpin yang benar-benar mumpuni. Pemimpin yang lahir dari rahim masyarakat. Sosok leader yang cerdas, brilyan, sehat, dan bermartabat. Tidak sakit-sakitan. Tidak pula plin plan.

Bahwa kehadiran pemimpin yang kredibel, jujur, berani, tegas, berintegritas, adalah corak karakter pemimpin yang ditunggu serta dirindukan oleh mayoritas warga masyarakat Mojokerto.

Karena itulah, kita semua berharap Pemilihan Bupati Mojokerto mendatang berjalan tertib, lancar, sehat, jujur, adil dan demokratis.

Sportifitas dan integritas berpolitik sangat mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan demokrasi. Mengapa? Karena di dalam praktek demokrasi itu sendiri sesungguhnya terselip kandungan kompetisi. Dan setiap kompetisi selalu dihadapkan dengan tata tertib, aturan main, persyaratan ketat, selektif, terbuka, dan berimbang. Artinya, masing-masing pemain mempunyai kekuatan yang sama. Tidak jomplang. Bobot prestasi dan jam terbang yang dimiliki sama-sama ber-SDM unggul. Sehingga ketika lonceng dibunyikan wasit, sorak sorai penonton menyambut gempita. Bikin hati berdebar. Harap-harap cemas.

Baca Juga :  Krisis Bahasa Daerah di Kalangan Anak- Anak Muda di Riung

Nah… Suasana tegang namun alami inilah yang dikehendaki semua pihak. Jika jagonya menang, para pendukung berjingkrak girang. Andai kalah, para pendukungnya diam dengan penuh legowo.

Sampai di sini, kita bisa menarik kesimpulan. Bahwa jika segala sesuatu berjalan semestinya. Sesuai normatifnya sebuah SOP (Standar Operasional Prosedur). Tanpa rekayasa. Tanpa pula main mata, dan sebagainya. Maka dambaan kita untuk mewujudkan Pemilihan Bupati Mojokerto Yang Demokratis dapat berjalan lancar sesuai amanah Undang-Undang. SEMOGA.

Leave a Reply

Chat pengaduan?