

Muktamar NU, yang merupakan organisasi terbesar di Indonesia, bahkan di dunia itu menyedot perhatian dari segala penjuru. Lebih-lebih soal calon Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang dinilai vital untuk menentukan arah NU ke depan, apakah akan kian jauh masuk ke ranah politik ataukah memilih untuk serius kembali ke Khittah NU 1926?
Dengan munculnya sejumlah calon ketum yaitu KH Said Aqil Siradj yang incumbent berhadap-hadapan dengan KH Yahya Cholil Staquf yang ‘kadernya’ Gus Dur, diiring kemunculan sejumlah alternatif untuk mengurangi suhu panas yang terus kian meninggi, dengan diantara sejumlah para peserta muktamar menyebut KH As’ad Ali sebagai salah satu calon ‘penengah’ alternatif.
Dukungan tersebut terhadap KH As’ad Ali telah jauh-jauh hari sebelum Muktamar NU ke-34, diantaranya berawal dari KH Asep Saifuddin Chalim yang ketika itu juga menyebutkan bahwa KH As’ad Ali mau maju jadi calon ketua umum PBNU jika didukung penuh oleh KH Asep Saifuddin Chalim yang juga putera salah satu pendiri NU KH Abdul Chalim.
Dari awal dukungan KH Asep Saefuddin Chalim, lantas kian meluas dukungan untuk KH As’ad Ali termasuk dari sejumlah PCNU dan PWNU, bahkan dari tokoh nasional yang juga nahdliyin, Rizal Ramli yang juga penasehat Jurnalis Nahdliyin.
Sementara itu, pengamat politik Ucok Sky Khadafi melihat Gus Yahya (Yahya Staquf) memang memiliki potensi meraih kemenangan untuk menjadi ketua Umum PBNU kali ini.
Diantara faktor utama yang bisa menjadi pendorong kemenangan, adalah dukungan dari Muhaimin (Cak Imin) yang wakil ketua DPR RI.
Lebih-lebih jika saat pemilihan, menggunakan cara menggiring suara cabang-cabang NU ke arah aklamasi, Gus Yahya akan menang. Begitu pula jika voting, satu suara satu cabang, tetap saja akan menang Gus Yahya.
Akan tetapi menurut Ucok Sky Khadafi, kemenangan Gus Yahya bisa tidak diterima (atau ditolak) pihak kubu KH Said Aqil Siradj, misal dengan dalih ada kecurangan dalam pemilihan, dengan adanya intervensi pemerintah melalui kementerian Agama kepada cabang cabang NU agar tidak memilih kembali KH Said Aqil Siradj.
Dengan penolakan kepada Gus Yahya Staquf sebagai Ketua umum PBNU oleh pihak KH Said Aqil Siradj, muktamar NU akan melahirkan dua atau tiga PBNU. “PBNU pertama versi Gus Yahya, PBNU kedua, versi kubu KH Said Aqil Siradj, dan PBNU ketiga, versi Indonesia Timur,” ungkap Ucok Sky Khadafi.
Menurut Ucok Sky Khadafi agar PBNU terhindar dari keterbelahan menjadi tiga pasca muktamar NU Lampung, maka dimintanya mengenai proses pemilihan ketua Umum PBNU agar tidak diserahkan kepada PCNU dan PWNU secara langsung atau voting. Untuk lebih maslahah, agar menghunakan metode pemilihan dengan cara AHWA atau PCNU dan PWNU memilih para kyai sepuh untuk menjadi anggota ahlul halli wal aqdi (AHWA).
Dengan begitu para kyai sepuh tersebutlah yang akan memilih ketua umum PBNU. Sekaligus bisa untuk menghindari Politik uang, pengaruh politisi busuk, dan mengindari PBNU terbelah berkeping keping menjadi 3 PBNU.
Ucok Sky Khadafi juga mengingatkan untuk komposisi anggota AHWA tidak boleh memasukkan Kyai Ma’ruf Amin sebagai apapun dalam AHWA. Jika ikut masuk sebagai AHWA, sama saja dengan pemerintah ikut campur dalam urusan internal NU.
Jika bisa seperti itu, lantas para kyai sepuh akan rapat, dan milih ketua umum PBNU dengan kriteria calon sebagai berikut: pertama tokoh nasional, kedua, punya jaringan luas baik secara nasional dan internasional, dan ketiga dihormati dan disegani oleh para kyai dan tokoh tokoh NU.
Bila mengacu kepada kriteria AHWA seperti diatas, maka tokoh yang sedang muncul saat ini, salah satunya adalah Kyai As’ad Said Ali.
Dengan munculnya kyai As’ad Said Ali bisa menyatukan kembali NU, yang saat ini sedang menuju perpecahan, bukan perpecahaan karena perbedaan wacana, tapi perpecahaan konflik fisik yang sangat membahayakan pemerintahan Jokowi. (Sis 081216271926).
>