
(Foto Fuadi H., Siswahyu, Hindro, dan Menhub Budi Karya)
JAKARTA – tarunanews.com, Saat ini, baru beberapa bulan dimulai lagi pendidikan ikatan dinas (sekolah kedinasan) bagi ‘taruna/taruni’ tingkat pertama atau ‘pemula’ (sejak bulan Agustus 2019) di seluruh Indonesia termasuk yang bernaung di bawah berbagai kementerian termasuk di antaranya Menteri Dalam Negeri (misal IPDN/STPDN), di bawah Menteri Perhubungan (misal STIP, ATKP, STTD Bekasi/ PTDI-STTD) dan lain-lain. Dengan situasi kondisi tersebut, pihak kementerian dan jajaran di masing-masing sekolah ikatan dinas, harus meningkatkan kewaspadaan agar tidak terjadi tindak kekerasan oleh pengasuh terhadap taruna/taruni ataupun lebih-lebih oleh taruna yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan juniornya. Karena jika terjadi seperti itu maka bisa segera dilaporkan ke polisi dengan visum dan saksi. Hal tersebut kurang-lebih kemarin disampaikan R. Tri Harsono Forum Peduli Indonesia – Sehat Sejahtera (FPI – SS).
Maenurut R. Tri Harsono, semua pejabat di Indonesia setelah Reformasi Mei 1998, pada prinsipnya anti kekerasan. Lantas dia menyebut Ketua Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo yang mengutuk ketika ada ‘taruna’ Brimob diperlakukan dengan kekerasan apalagi hingga meninggal. Begitu pula Menteri Perhubungan Budi Karya Mulyadi pada bulan Februari 2019 menon-aktifkan Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) karena ada tarunanya yang meninggal karena kekerasan. Dan para pelaku kekerasan pun diproses secara hukum. Bahkan dalam berbagai kesempatan Menhub Budi Karya Mulyadi menekankan agar sekolah kedinasan di bawah naungan Kementerian Perhubungan agar menerapkan prinsip humanis. Namun menurut R. Tri Harsono, langkah-langkah tindakan semacam itu sangatlah normatif, dan kurang menggigit, apalagi sering kali dilakukan ketika telah ada korban yang meninggal. Menurutnya seruan tentang humanis, belum diimbangi langkah-langkah tegas di internal sekolah-sekolah kedinasan secara preventif. Menurut R. Tri Harsono, perlu dilakukan langkah preventif yang lebih tegas. Misal jika ada senior yang melakukan kekerasan, harus segera diperingatkan, jika diulangi maka harus dikeluarkan. Bahkan harusnya dilaporkan polisi untuk diproses. Apakah hal tersebut memungkinkan?
Sejumlah ahli hukum dan pengacara termasuk Hari Tjahyono, juga Drs Fuadi Hartono SH MBA (Sekretaris Jenderal PERADIN/ Persatuan Advokat Indonesia pusat) yang dikonfirmasi, menyatakan hal itu menjadi hak bagi korban. Institusi atau bahkan orang tua yang dirugikan bisa melakukan tuntutan, dan harus dikawal untuk melapor ke kepolisian Apalagi harusnya di lingkungan pendidikan, taruna/taruni itu harusnya mendapat perlindungan dan bukan malah kekerasan. “Daerah kampus bukan daerah yang bebas (untuk boleh) melakukan pelanggaran hukum,” ungkap Drs Fuadi Hartono SH MBA lulusan Amerika Serikat, yang saat SLTA, satu alumni di SMAN 2 Jombang (Jawa Timur) dengan Jenderal TNI (Pur.) Moeldoko Kepala Staf Presiden (KSP) Presiden Joko Widodo dan Isa Rachmatarwata (kakak Ibrahim Rachmatarwata) orang kepercayaan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kini dipercaya jadi Komisaris Pertamina (BUMN).
Pada bagian terpisah Siswahyu Kurniawan penulis sejumlah buku biografi tokoh nasional termasuk buku Bung Karno Dan Pak Karno menyebut STTD Bekasi yang ke depan berubah menjadi PTDI – STTD Bekasi menjadi salah satu contoh sekolah ikatan dinas yang berusaha keras menjadi humanis sejak dipimpin Eddy Gunawan ATD, M.Eng. SC dari tahun 2017 hingga Desember 2019. Eddy Gunawan dikenal ketat mengawasi agar taruna senior tidak sewenang-wenang terhadap junior. Kini Eddy Gunawan telah diganti Hindro Surahmat yang memiliki komitmen kurang-lebih sama, termasuk pendekatan humanis dan agar tidak ada kekerasan oleh taruna senior kepada juniornya. “Eddy Gunawan telah meletakkan dasar humanis STTD Bekasi, yang penting dipahami oleh seluruh jajarannya termasuk para taruna yang merasa senior,” ungkap Siswahyu Kurniawan yang pernah mendapat beasiswa ke Asian Social Institute (ASI) Manila, Filipina.
Namun Fuadi Hartono mewanti-wanti jika ad korban dimanapun, maka korban dan orang tua janganlah takut melaporkan tindakan kekerasan yang terjadi sehingga bisa divisum untuk diproses secara hukum. “Akibat penganiayaan atau kekerasan atau violance yang setelah divisum adalah penganiayaan yang mengancam jiwa korban adalah pelanggaran hukum,” tegas Fuadi Hartono Sekretaris Jenderal PERADIN pusat.
Sekadar catatan, Drs Fuadi Hartono SH MBA adalah Sekretaris Jenderal PERADIN periode 2018 – 2020. Adapun sebagian Susunan Kepengurusan BADAN PENGURUS PUSAT PERSATUAN ADVOKAT INDONESIA (PERADIN) yang lain adalah sebagai berikut.
Dewan Penasehat:
Prof. DR. Frans Hendra Winarta, SH. MH; HJR. Abu Bakar, SH; Murad Harahap, SH; Nursyahbani Kantjasungkana, SH; Rudi Lontoh, SH; DR. S.F Marbun, SH. M. Hum; Wawan Irawan, SH.
Dewan Kehormatan: Prof. DR. Eman Radjaguguk, SH. LLM; Prof. DR. Widyo Pramono, SH. MH; Abdul Rahman Saleh, SH; Prof. Steve Ngo; Prof. DR. J.E Sahetapy, SH, MA; Timbul Thomas Lubis, SH, LLM; Samuel Kikilaitety, SH; Drs, H. Muchtar H.P, SH. M.H; Soetomo, SH.
Dewan Pengurus :
Ketua Umum:
DR. Firman Wijaya, SH, MH;
Wakil Ketua Umum I:
H. Elke Hylkema Idat, SH. MH;
Wakil Ketua Umum II:
C.H Harno,SH;
Wakil Ketua Umum III:
Edi Utama SH. MA.
Sekretaris Jenderal:
*Drs. Fuadi Hartono, SH. MBA*.
Wakil Sekjend:
Agung Riyadi, SH. MH.
Bendahara Umum:
Lelyana Santoso, SH.
Pendapat Anda? Sms atau WA kesini= 081216271926. (Sis).