Foto: Siswahyu, Nisa’, M.Al Barra, Jauharoh

(Oleh: Siswahyu Kurniawan)
*Penulis buku humor Bung Karno Dan Pak Harto; penulis buku biografi Asmuni-Srimulat dengan pengantar dari Mayjen Purn. Basofi Sudirman mantan Gubernur Jatim; penulis buku biografi Mardjito GA yang pernah jadi anggota DPD RI.*

(“Saksi dalam kasus di KPK pun bisa berubah jadi tersangka.”)

 

Ada salah satu media online pernah ‘ikut’ memuat dalam satu ‘terbitannya’ dengan judul: Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Mojokerto Tersandera KPK, 21 Februari 2020 (21/02/2020) meskipun dalam peredarannya belum ada yang intensif untuk menindak-lanjuti, misal dengan ditarik ke dalam berbagai aktivitas diskusi atau sarasehan dan sejenisnya.

Di lain sisi, pada bulan Februari 2020 itu barulah pemeriksaan yang kedua yang dilakukan oleh KPK terhadap para saksi (akibat efek kasus mantan Bupati Mustofa Kamal Pasa/MKP yang telah divonis delapan tahun penjara), yang bisa saja di antara para saksi berubah jadi tersangka apalagi hingga pada bulan Mei 2020 (Juni 2020 ini belum) KPK telah melakukan pemeriksaan sebanyak lima (5) kali terhadap puluhan saksi di Mojokerto.

Sesuatu yang luar biasa intensif, yang sangat memungkinkan menjadi amunisi-amunisi yang mematikan ke depan. Apalagi sebelumnya, diluar MKP, telah ada telah banyak pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka termasuk Zainal Abidin mantan Kepala PUPR Kabupaten Mojokerto. Tersangka lainnya adalah Direktur PT Profesional Telekomunikasi Indonesia/Telekomindo (Onggo Wijaya); lalu mantan Wakil Bupati Malang 2010 – 2015 (Achmad Subhan); makelar izin tower di Mojokerto (Achmad Suhawi); Permit And Regulatory Division Head PT Tower Bersama Grup/ TBG (Ockyanto); dan Nabiel Tirtawano sebagai perantara suap.

Pemberitaan demi pemberitaan mengenai pemeriksaan demi pemeriksaan pun termuat di berbagai media cetak dan media audio-visual televisi. Juga tak ketinggalan di banyak media online termasuk surabaya.tribunnews.com; sekilasmedia.com; www.suarasurabaya.net; beritajatim.com; bangsaonline.com; tarunanews.com; kompasregional.com; jurnalmojo.com; detiknews.com dan lain-lain.

Di antara yang diperiksa sebagai saksi kasus MKP adalah Ikfina Fahmawati isteri mantan Bupati MKP (yang akan maju Cabup Mojokerto 2020), lalu Pungkasiadi Wakil Bupati-nya MKP yang kini jadi Bupati dan juga akan maju dalam Pilbup Mojokerto 2020, juga Dyan Anggraini Sulistyowati isteri Yoko Priyono yang juga akan maju Cabup Mojokerto 2020. Dengan kejadian tersebut banyak bergelantungan pertanyaan publik: apakah mereka bisa terseret kasus yang ditangani KPK? Lantas apakah jika tidak terbukti terlibat dan kemudian terpilih menjadi Bupati Mojokerto apakah bisa amanah serta bersih sesuai harapan masyarakat?

Baca Juga :  Pembangunan Berkelanjutan: Mengharmoniskan Ekonomi dan Lingkungan

Meskipun juga bukanlah rahasia jika rakyat pemilih maupun tim sukses dan elemen lain, tak jarang memanfaatkan momen Pemilihan Umum termasuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada/ dalam hal ini Pilbup), lebih sebagai pesta untuk mendapatkan ‘angpao’ yang berjumlah tidak seberapa namun cenderung merusak hal yang berhubungan dengan demokrasi (Pancasila): “amanah dan perilaku bersih, yang tidak suka berbohong.”

Namun yang jelas peta Pilbup Mojokerto 2020 ini belum ada satupun calon yang secara resmi ‘lengkap’ mendapatkan rekom yang memenuhi syarat minimal sepuluh (10) kursi diantara 50 kursi DPRD Kabupaten Mojokerto.

Yoko Priyono dan Choirun Nisa’ sudah sejak sekitar 29 Desember 2019 menyatakan bahwa telah diusung oleh 12 kursi yang dimiliki oleh PPP (5 kursi), Gerindra (3), Hanura (2), PAN (2). Bahkan ‘peta’ itu berubah pada sekitar tanggal 4 Juni 2020 ketika Subandi (Ketua DPD Golkar Kab. Mojokerto) menyatakan bahwa Golkar (dengan 6 kursi) cenderung telah positif ke Yoko Priyono dengan adanya Surat Penetapan Sementara (SPS) untuk Yoko dari DPP Partai Golkar dimana prosedur SPS itu lazim di Golkar seperti juga yang didapat oleh Cabup Sidoarjo Bambang Haryo Soekartono (BHS) yang memperoleh SPS dari DPP Golkar dengan 4 kursinya yang berarti aman dengan tambahan 7 kursi Gerindra. Namun dalam ‘kasus’ Yoko, dia baru mendapatkan SPS dari Golkar, dan Subandi selaku Ketua DPD Golkar Kabupaten Mojokerto berharap kepada PPP (dengan 5 kursi) agar tetap bertahan untuk Yoko.

Begitupun Ikfina Fahmawati dan Muhammad Al Barra belum mendapatkan rekom resmi untuk sepuluh kursi minimal yang diperlukan, meskipun sejak sekitar 9 Maret 2020 pernah menyatakan bahwa telah mendapatkan sepuluh (10) kursi dengan perincian dari PPP (5 kursi), Nasdem (3) dan Hanura (2) yang konon kabar akan ditambah dengan partai-partai lain. Dengan ‘alternatif’ kemungkinan PPP digantikan oleh Demokrat (5 kursi).

Sedangkan Pungkasiadi dan Jauharoh Said, konon ketika itu sudah pula mendapatkan minimal sepuluh (10) kursi yaitu dari PDIP (9 kursi) dan PBB (1).

Jika memang petanya untuk sementara seperti itu dan bertahan hanya ada tiga pasang Cabup – Cawabup misal, Ikfina – Barra (IKBAR) diusung 10 kursi gabungan Demokrat – Nasdem – Hanura, lalu Yoko – Nisa (YONI) diusung 11 kursi gabungan Golkar – PPP, lantas Pungkasiadi – Jauharoh Said diusung oleh 10 kursi gabungan PDIP – PBB, dengan misal parpol-parpol lain tersebar dalam gabungan-gabungan tersebut, maka apakah yang ada hanyalah para Cabup tersandera KPK?

Baca Juga :  Penarikan Amal terhenti atas instruksi kepala Desa dan sekertaris Desa Kramatagung

Namun jika tidak ingin hanya ada tiga (3) pasang tersebut, masih ada 19 kursi tersisa yang bisa digunakan untuk usung Cabup – Cawabup lain, yaitu PKB (10 kursi), PKS (4), Gerindra (3), PAN (2). Masih memungkinkan ada satu pasang lagi Cabup – Cawabup. Jika misal PKB ngotot berdiri sendiri, maka PKS dan Gerindra serta PAN harus memilih bergabung dengan yang di luar PKB.

Sayangnya PKB sebagai partai pemenang dalam Pemilu 2019 di Kabupaten Mojokerto yang seharusnya bisa mengusung Cabup – Cawabup sendiri tanpa koalisi, tidak memiliki kader internal yang cukup kuat untuk melakukan ‘pertarungan’ selevel Pilbup Mojokerto. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di sejumlah daerah lain, apalagi di Sidoarjo, dimana PKB juga sebagai parpol pemenang Pemilu (dengan 16 kursi) dan memiliki banyak kader yang kuat diantaranya H. Ahmad Amir Aslichin (Mas Iin) putera dari Saiful Ilah mantan Bupati Sidoarjo; lalu Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor) adik kandung dari Syaikhul Islam anggota DPR RI PKB (yang juga pengurus DPP PKB dengan posisi sebagai Ketua Bidang Agama Dan Dakwah) yang putera dari KH Agoes Ali Mashuri ponpes Bumi Sholawat Tulangan; dan Nur Ahmad Syaifudin (Cak Nur) yang kini masih menjabat Plt.Bupati Sidoarjo.

Dengan kurang kuatnya kader internal PKB di Kabupaten Mojokerto, bisa juga menjadi peluang PKB untuk ‘bereksperimen’ menggaet wajah baru yang belum pernah terjun ke dalam Pilbup ataupun parpol, namun potensial. Cabup – Cawabup yang harus potensial. Apalagi mengingat banyak Cabup lain yang bisa tersandera KPK.

Akan tetapi hal tersebut juga bukan perkara mudah. Misal ada sejumlah tokoh kuat di Mojokerto, yang sebenarnya secara jaringan suara dan finansial, banyak diminta dimajukan Cabup ataupun Cawabup namun enggan. Diantara nama-nama tersebut adalah Gus Haji Mas Sulthon (Gus Ton/Ketapanrame, Trawas); Mulyono WD (Wisata Desa, Randugenengan, Dlanggu); Ghofur sekretaris PW GP Ansor Jatim, Gardi Gazarin dll-dll namun mereka enggan masuk dalam Pilbup Mojokerto.

Jika seperti itu, harus bagaimana? Dan jika memang misal para Cabup yang telah lama beredar selama ini tersandera KPK, lantas perlu wajah siapa lagi?

Ada banyak tokoh yang mengusulkan Muhammad Al Barra (Gus Barra) agar maju sebagai Cabup sendiri terpisah dari Ikfina Fahmawati. Ada pula yang meminta Choirun Nisa’ ataupun Jauharoh Said juga agar maju Cabup sendiri-sendiri pula, namun tentu masing-masing mereka punya perhitungan sendiri-sendiri dengan berbagai pertimbangan sehingga tidak mengambil posisi Cabup.

Baca Juga :  Pakar Politik Jateng Bicara,Prabowo Pilih Sosok Kadernya Untuk Maju Pilgub Pada Pilkada 2024

Namun yang juga sangat penting dan tidak boleh dilupakan bahwa Demokrasi (Pancasila) di Indonesia memiliki nilai-nilai luhur yang juga menuntut perhatian semua pihak untuk menjaganya. Tentu yang diharapkan adalah yang amanah dan bersih. Meskipun kita juga sama-sama tahu, tidak ada satupun manusia yang full amanah dan full bersih, tidak ada satupun manusia yang full seratus persen sempurna.

Apakah diantara calon-calon yang Anda dukung adalah full amanah dan full bersih? Apakah full seratus persen sempurna?

Namun minimal lebih baik dari yang sudah-sudah, termasuk agar tidak tertangkap oleh KPK seperti yang sudah terjadi di Kabupaten Mojokerto terhadap tiga bupati secara beruntun seperti Achmadi, Suwandi, dan Mustofa Kamal Pasa. Meskipun kita juga sama-sama tahu bahwa KPK bukanlah malaikat, masih sangat mungkin terlibat politik, terlibat dalam suatu ‘permainan-permainan’, yang hal itu lebih baik kita kembalikan pada hati nurani kita, yang penting masing-masing kita ikhtiar menjadi lebih baik.

Sehingga bukan seperti saat kampanye yang tak jarang berebut disebut sebagai pihak yang terbaik meskipun hanya pencitraan, bahkan tak jarang janji-janji, kebohongan-kebohongan oleh Si Calon maupun tim.

Apalagi pada zaman ini tak jarang orang berperspektif, “Mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal.” Begitu jugakah dalam Pemilu, pula dalam Pilbup?

Dengan perspektif itu lantas kian banyak yang terjebak bahwa siapapun orangnya yang jauh lebih buruk, yang jauh lebih jahat, adalah boleh-boleh saja memutar-balikkan cerita untuk memfitnah dengan seenaknya terhadap yang justru lebih baik. Tidak hanya dalam Pilbup, dalam Pilpres 2014 dan 2019 kemarin pun terjadi, hingga banyak luka berkepanjangan. Apakah hal tersebut juga terjadi di lingkungan kita, para Ormas? Para wartawan? Para LSM? Bahkan terhadap teman sendiri?

Jika iya, mungkin kitalah yang tersandera oleh ‘perspektif’, dan bukan para Cabup yang tersandera KPK. Semoga tidak ada Cabup Mojokerto 2020 yang dijadikan tersangka oleh KPK, apalagi yang dianggap ‘kuat’, menjelang Pilbup 2020. Kejadian di Jombang yang menimpa Bupati incumbent Nyono Suharli yang juga Cabup ketika jelang Pilbup Jombang 27 Juni 2018, semoga tak terjadi di Mojokerto. Apalagi pada waktu itu Nyono Suharli menjalani sidang pertamanya pada satu hari sebelum Hari-H coblosan (sidang 26 Juni 2018), yang mengundang banyak tanya saat itu, adakah yang ‘bermain’ dengan KPK dan aparatur hukum? Pendapat Anda? Sms atau WA kesini= 081216271926. (Siswahyu).

Leave a Reply

Chat pengaduan?