img 20240521 wa0081

Penulis: H. Adi Gunawan, S.H., M.A., M.H., M.Sos.

 

Tidak dapat disangkal lagi, koruptor telah merajalela di negeri ini.  Kata koruptor dalam bahasa Indonesia yang baku berarti orang yang melakukan korupsi. Sedangkan kata korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Oleh karena itu menurut Pranjoto, sebutan koruptor tidak dinilai dari banyaknya uang yang dijarah pelaku, meskipun yang ditilep nilainya sepuluh juta rupiah, sebutannya tetap saja koruptor . Petugas pajak parkir membiarkan juru parkir tidak memberikan karcis parkir, petugas pajak restoran membiarkan pemilik rumah makan tidak memberikan bon porporasi pajak makanan kepada pengunjung, petugas perdagangan dan metriologi  membiarkan pedagang di pasar curang dalam timbangannya, petugas pajak tontonan bioskop membiarkan karcis tidak dirobek, atau pegawai negeri dan/atau pejabat negara yang menilep uang negara, atau melakukan komersialisasi jabatan, semuanya merupakan perilaku administarsi negara yang korup. Dengan kata lain, penyelewengan uang ribuan atau milyaran rupiah sebutan namanya tetap saja, yaitu koruptor.

Korupsi merupakan tantangan serius terhadap pembangunan, mengingat disatu sisi, tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Sedangkan disisi lain, tindak pidana korupsi telah merusak tata pemerintahan yang baik (good govermance) dengan cara menghancurkan proses formal. Pendanaan pembangunan yan diperoleh dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (disingkat APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (disingkat APBD) dan bantuan/pinjaman dari bank dunia telah digerogoti oleh pelaku koruptor. Sementara itu pemberantasan korupsi tidak sebandig dengan kebocoran uang negara yang ditilep oleh para pelaku koruptor.

Elaborasi nyeleweng perilaku administrasi negara  tersebut menunjukkan bahwa, masyarakat secara empiris kasat mata sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari di kota Surabaya dan secara umum, baik melalui media cetak maupun televisi masyarakat dengan mudah menyaksikan koruptor diperiksa, dituntut dan diadili. Oleh karena itu tidak salah jika hasil jajak pendapat tahunan Political and Enomic Risk Consultancy Maret 2011 menyebutkan, Indonesia merupakan negara paling korup di Asia Negara Tenggara pada tahun 2010. Apabila ukuran korupsi dihitung seberapa koruptor dipidana, maka niscaya pemberantasan korupsi akan gagal. Mengapa, sebab sebenarnya koruptor lebih banyak yang lolos jeratan hukum ketimbang yang diajukan ke lembaga peradilan. Sementara dalih diundangkannya UUKPK disebut dengan kalimat santun yang berbunyi: “….pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal” (konsideran Menimbang huruf a.). Padahal belum optimalnya pemberantasan korupsi tersebut sesungguhnya disebabkan oleh budi pekerti atau tingkah laku aparatur penegak hukum sendiri dan bukan karena bagaimana masing-masing aparatur penegak hukum memahami rumusan hukumnya. Oleh karena itu rasanya tidaklah adil jika yang diberantas hanya para pelaku korupsinya saja, namun lebih dari itu, Aparatur Penegak Hukum yang Nakal pun seharusnya diberantas.

Baca Juga :  BNN Ungkap 60 Miliar TPPU dari Kasus Tindak Pidana Narkotika

Bertitik tolak dari uraian tersebut diatas penulis mencoba menyusun  identifikasi permasalahan sebagai berikut:

Siapakah yang lebih mengetahui terlebih dahulu orang yang melakukan korupsi?.

Solusi alternatif yang bagaimana agar pelaku korupsi jera?

 

Temuan dan Pembahasan

Pemberantasan korupsi yang sekarang terlihat galak sesungguhnya biasa-biasa saja. Ketiga aparatur penegak hukum, polisi, jaksa dan komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi dapat dihitung, mana yang lebih aktif. Jaksa lebih sering memeriksa perkara korupsi ketimbang polisi dan KPK lebih sering ketimbang jaksa. Harus diakui, sebutan Indonesia sebagai negara terkorup sebagaimana telah disebutkan tidak sebanding dengan para koruptor yang menjadi terpidana. Cara-cara vulgar KPK dalam memberantas korupsi dengan cara menangkap tangan tersangka koruptor tidaklah mujarab. Sehingga menimbulkan keraguan masyarakat, bagaimana jika tidak tertangkap tangan?.

Ditengah pesimisme sebagian besar masyarakat dalam pemberantasan korupsi, ada secercah pemikiran memberantas korupsi melalui seorang istri. Kata istri secara kebahasaan adalah perempuan yang telah menikah atau yang bersuami. Dalam kamus bahasa Indonesia, istri juga disebut garwa (KBBI, 2001: 338), terambil dari bahasa Jawa garwo. Garwo sering dimaknai sigaraning nyowo oleh orang Jawa, artinya dalam bahasa Indonesia sama dengan separuhnya nyawa atau belahan jiwa. Belahan jiwanya siapa ?, yaitu tidak lain adalah belahan jiwa suami. Makna belahan jiwa menunjukkan, begitu dekatnya hubungan kedua manusia yang berlainan jenis dan terikat perkawinan itu. Sehingga sebelum mempunyai anak, hubungan suami yang paling dekat dan sangat dekat adalah dengan istrinya. Hubungan dengan orang tua, saudara dan teman sangat jauh ketimbang hubungan dengan istrinya. Jika kemudian mempunyai anak, maka hubungan terdekat suami mulai terpecah. Hubungan suami terdekat pertama, adalah dengan istri dan hubungan terdekat kedua, dengan anaknya. Begitu dekatnya hubungan suami-istri tersebut, sehingga apa yang dilakukan suami, istri akan mengetahui. Begitu juga sebaliknya, mereka juga akan selalu berbagi senang dan duka.

Jika ada pria-pria hebat, seperti misalnya, Ir. Sukarno, Jenderal Suharto, Prof. Dr. BJ. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Ir. Joko Widodo, yang semuanya menjadi presiden, saya haqqul yakin (percaya yang sebenarnya), disamping karena kehendak Tuhan Yang Maha Esa, pasti ada perempuan hebat yang ada dibelakang atau yang mendampinginya dan perempuan-perempuan hebat tersebut tidak lain adalah seorang istri. Akan tetapi sebaliknya, jika ada suami melakukan  korupsi, saya juga haqqul yakin, pasti ada perempuan hebat bersamanya, yaitu seorang istri yang selalu mendampingi suaminya. Istri sebagai belahan jiwanya adalah orang pertama yang mengetahui, apakah suaminya koruptor atau tidak.

Baca Juga :  Abdul Ghofur Resmi Pimpin DPRD Lamongan

Mengapa istri yang paling mengetahui suaminya telah melakukan korupsi?. Secara normatif dan sosiologis, istri pasti mengetahui berapa gaji suaminya.  Jika gaji suami setiap bulan Rp. 10.000.000,-, secara matematis selama 1 tahun gaji yang diterima suaminya, yaitu 12 bulan x Rp. 10.000.000,-, maka gaji yang diterima seorang suami   seharusnya sebesar Rp. 120.000.000,- (itupun jika tidak sakit dan kehidupan rumah tangganya ditanggung mertua). Sementara itu selama kurun waktu 1 tahun, suami/istri dengan sabar dan tawakal menanti tingkat kesejahteraan serta menahan untuk tidak menikmati gebyarnya dunia secara berlebihan (misalnya membeli mobil bagus, rumah yang mewah, mengajak pergi haji plus atau kenikmatan lainnya), maka dapat dipastikan istri mengetahui suaminya bukanlah seorang koruptor. Sebaliknya, jika selama kurun waktu itu suami memberikan gebyarnya dunia kepada istri, padahal suami tidak pernah menerima warisan, atau bekerja sampingan di luar dinasnya, atau mencari tambahan penghasilan yang halal di luar gaji resminya sebagai penyelenggara negara, maka dapat dipastikan bahwa istri mengetahui perbuatan korup suaminya. Istri memang dapat sebagai penyulut suami untuk menjadi koruptor. Dikatakan sebagai penyulut, jika istri mendiamkan pemberian suami di luar gaji yang ia terima, tanpa menanyakan, darimana asalnya. Di negeri ini untuk mencari kemakmuran memang tidak dilarang oleh hukum. Akan tetapi, modus operandi mencari kemakmuran itu yang dilarang. Kita sekarang juga sedang akrab menyaksikan, banyak pejabat penyelenggara negara yang bisa mengalahkan master sulap dan hipnotis. Hal yang demikian itu dapat dilihat dengan gaya hidupnya yang tidak sepadan dengan gajinya dari negara. Ironisnya, para penegak hukum juga dihipnotis, sehingga tidak mampu berbuat banyak. Sementara istri tidak peduli, darimana suaminya memperoleh tambahan gajinya, yang penting baginya, ia dapat ikut menikmati gebyarnya dunia modern. Istri yang berbudi pekerti baik dan berakhlak mulia dapat sebagai penyejuk hati suami dan tidak merangsang suami agar memberi gebyarnya dunia dengan cara tercela.

Baca Juga :  Mengurai Garis Lurus Pada Benang Merah Supersemar Dalam Upaya Membangun Kesadaran Bangsa Dari Bahaya Komunis

Secara ilmiah, semua tulisan ini diakhiri dengan kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan dalam identifikasi permasalaham dan  saran merupakan masukan guna kepentingan kebijakan selanjutnya.

Kesimpulan

Istri sebagai pendamping suami setiap waktu, dipastikan mengetahui berapa pendapatan suami.

Semua istri koruptor dapat dijadikan tersangka sebagai sengaja membantu melakukan kejahatan atau sengaja memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan sebagaimana rumusan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebab seorang istri mengetahui ketika suaminya pulang membawa uang hasil dari kejahatan.

Saran

Penyidik kepolisian dan kejaksaan seharusnya memeriksa istri koruptor terlebih dahulu sebelum memeriksa tersangka koruptor, dengan menggunakan Pasal 56 KUHP sebagai dasar. Sementara itu KPK dapat menggunakan Pasal 48 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksa istri koruptor dan mempertanyakan seluruh harta bendanya darimana suami memperoleh.

Semua istri yang suaminya bekerja berhubungan dengan jabatan dari negara, diwajibkan melaporkan harta bendanya sebelum suaminya memangku jabatan.(*)

 

Leave a Reply

Chat pengaduan?