
Foto: Gus Haji Mas Sulthon pengusaha, Kyai, Budayawan dan Penggiat Seni
MALANG – tarunanews.com. Hingga di sekitar peringatan Dirgahayu (HUT) NKRI ke-75 dan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 H., di pesarean WALIYULLAH gunung kawi Gus Ton memperingati-nya dengan cara yang belum pernah di lakukan siapapun di negeri ini. Gus ton tasyakuran menggelar wayang kulit 7 hari 7 malam dalam rangka memperingati DIRGAHAYU ( HUT ) NKRI ke 75 dan memperingati Tahun Baru ISLAM 1 MUHARRAM 1442 H. Dalam sambutannya Gus Ton menyampaikan, banyak perpecahan-perpecahan karena in-toleransi (tidak toleransi) yang menimbulkan konflik dan permusuhan berkepanjangan yang terlihat kasat mata di kalangan masyarakat bawah sampai atas, hingga diantara pejabat, yang disebabkan oleh rasa kurang saling menghargai yang didasari oleh prasangka-prasangka masing-masing yang merasa paling benar. Rasa yang kurang saling menghargai, rasa intoleransi, yang jika mencapai tensi yang tinggi, bisa sangat membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Salah satunya kurang lebih hal tersebut disampaikan Gus Haji Mas Sulthon (Gus Ton) pada acara Pagelaran Wayang Kulit 7 hari 7 Malam, di komplek Pesarean WALIYULLAH Eyang Djugo ( Kyai Raden Mas Zakaria, Gunung Kawi Malang) yang berakhir di malam ke 7 hari Selasa malam Rabo 25 Agustus 2020.
Gus Ton prihatin karena intoleransi dan perpecahan yang banyak terjadi itu ternyata tak jarang yang dipicu oleh hal-hal sepele, seperti perbedaan pendapat, dimana harusnya saling menghargai. Gus Ton menyebut contoh tentang banyaknya persekusi yang akhir-akhir ini sering terjadi karena wawasan yang kurang. “Kalau saya, kebetulan telah mengalami berbagai situasi-kondisi kehidupan berbangsa bernegara, dan Alhamdulillah di seluruh provinsi Indonesia dari Sabang sampai Merauke, saya sudah pernah memijakkan kaki,” kurang-lebih hal tersebut diungkap Gus Ton yang menyebutkan pengalaman tersebut melahirkan jiwa yang tingkat toleransinya tinggi sehingga tidak mudah terpancing isu-isu yang bisa menjadikan konflik/ permusuhan.
Dalam kehidupan beragama pun Gus Ton meminta agar kita semua tidak mudah terjebak konflik. Gus Ton memberi contoh, jika ada orang yang tidak mau tahlilan, jangan lantas dimusuhi dan begitu pula sebaliknya. Kemudian antara yang baca Qunut dengan yang tidak baca Qunut, janganlah pula dijadikan konflik. Menurut Gus Ton, para santri maupun para dai perlu memiliki pengalaman nyata terjun di daerah yang umat Islamnya itu minoritas sehingga bisa merasakan perjuangan sesungguhnya, dan pentingnya saling menghargai, saling toleransi.
Ungkap Gus Ton yang mengadakan Pagelaran Wayang Kulit 7 hari 7 Malam dengan satu ‘judul’ yaitu “Rejeki Agung Lumintu” yang dibawakan oleh tujuh dalang namun dengan isi cerita yang ditampilkan berbeda-beda berdasarkan perspektif dari masing-masing dalang.
Dalam kesempatan Pagelaran Wayang Kulit tersebut Gus Ton juga mengingatkan bahwa jika perpecahan/konflik karena hal-hal sepele kian sering terjadi maka akan menjadikan ketidak-tenangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Jika kian banyak konflik maka akan menjadikan Negara tidak akan damai dan tenteram, negara tidak akan berkah,” tandas Gus Ton yang sekaligus nguri-nguri budaya Jawa khususnya wayang Kulit sekaligus membantu para dalang serta seniman untuk mendapatkan penghasilan di tengah situasi-kondisi Corona Virus Disease (Covid-19), apalagi karena efek Covid-19 banyak kehidupan ekonomi masyarakat yang merosot drastis termasuk kalangan seni.
Gus Haji Mas Sulthon (Gus Ton) dalam sambutannya selama pagelaran wayang kulit 7 harin7 malam juga menjelaskan, dimana dalam komplek Pesarean Gunung Kawi tersebut terdapat makam dua sahabat tokoh besar dari era perjuangan pahlawan nasional Pangeran Diponegoro, tahun 1825-1830, yaitu Pesarean Wali Syekh Zakaria/ Raden mas zakaria (Kyai Zakaria II) atau Raden Mas Soeyo Koesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmojo atau yang kemudian dikenal sebagai Eyang Djugo. Kemudian juga ada Pesarean Raden Mas Iman Soedjono.
Meskipun jelas-jelas dua tokoh tersebut adalah tokoh Islam, namun yang ziarah ke pesarean mereka bukanlah hanya orang Islam. Malah yang lebih getol adalah teman kita yang etnis Tionghoa, yang pada awal-awalnya sekadar ikut berdoa dan ikut mengucap, “Amin…, Amin…” Meskipun tak mengerti arti doa yang dibaca namun meyakini bahwa didoakan yang baik. “Jadi berangkat dari rasa yakin, ziarah, tawasul, mendengarkan doa, hingga mereka mendapat berkah menjadi kaya raya,” ungkap Gus Ton seraya menyebut pendiri pabrik Gudang Garam, Soerya Wonowidjojo, dulu juga ‘tawasul’ ke Pesarean Wali Syekh Zakaria dan RM Iman Soedjono.
Dengan berbagai etnis yang datang, berbagai suku, ada Jawa, Sumatera, Kalimantan dan lain-lain, bahkan dari negara-negara se-Asia Tenggara dan diluar Asia Tenggara. Dengan berbeda-beda suku, namun sangat toleransi di Pesarean Wali Syekh Zakaria Eyang Djugo. “Eyang Djugo dan RM Iman Soedjono adalah tokoh Islam. Harusnya yang lebih banyak tawasul kesini dan lebih yakin adalah umat Islam,” ungkap Gus Ton seraya menyebut dua tokoh Islam itu pada masa lalu meskipun dikenal kaya raya, namun suka memberikan pertolongan kepada siapapun termasuk yang beretnis Tionghoa.
“Jadi di Pesarean Gunung Kawi ini bukan untuk cari pesugihan. Tapi tempat Pesarean tokoh Islam, wali, yang jika kita tawasul dengan madhep mantep, dengan yakin maka Insa ALLAH akan dikabulkan Allah SWT. BANYAK DUKOMENTASI TIAP TAHUN DI GELAR PENGAJIAN AKBAR, SHOLAWAT NABI, USTIGHOSAH DI PESAREAN WALI GUNUNG KAWI yang di hadiri para habaib serta para kyai bersama ribuan jamaah yang ikut hadir. Jadi kalau datang kesini adalah tetap berdoa kepada Allah SWT, dengan tawasul kepada wali. Bukan syirik,” tegas Gus Ton, yang hal tersebut telah dilakukannya kepada hampir seluruh wali yang ada di Indonesia, bahkan wali yang ada di sekitar Singapura dan Malaysia dan lain-lain juga diziarahi Gus Ton.
Tidak hanya pendiri Gudang Garam yang ‘tawasul’ ke Pesarean Wali di Gunung Kawi. Ada juga Lim Sioe Hok Liong (pemilik BCA) dulu melakukan tirakat atau tetirah di tempat yang bisa ditempuh dari Kota Malang sekitar satu jam setengah ini, berjarak sekitar 31 km. Saat ini Anthony Salim (pemilik Indofood) adalah salah satu yang sering ke Pesarean Wali di Gunung Kawi tersebut.
Riwayat dari Wali Syekh Zakaria atau Raden mas Zakaria atau Kyai Zakaria II dapat ditelusuri berdasarkan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh pengageng Kantor Tepas Darah Daken Kraton Yogyakarta Hadiningrat nomor: 55/TD/1964 yang ditanda-tangani Tumenggung Danoehadiningrat pada 23 Juni 1964. Dalam surat itu diterangkan silsilah Kyai Zakaria II
“Jadi ke Pesarean Wali di Gunung Kawi, Eyang Djugo ini bukan syirik, tapi tawasul,” tandas Gus Ton lagi. Pendapat Anda? Sms atau WA kesini= 081216271926. (Siswahyu).
>