

Jika kita mengingat ekonom kawakan Bapak Soemitro Djojohadikussumo yang memunculkan ide brillianya, bahwa jika Goverment berhasrat ingin membesarkan pengusaha pribumi maka perlu diberikan sebuah proteksi dan stempel atau lisensi untuk Import, harapanya adalah agar melahirkan pengusaha pribumi yang tangguh dan sukses, kata pak Menteri Soemitro yang saat itu menjabat Menperindag.
Yang kemudian akhirnya ide itu melahirkan sebuah teori yang sangat terkenal yaitu “Theory Tricle Down Effect.” yaitu rembesan kesamping dan tetesan kebawah sehingga melahirkan economy growth.

Yang terjadi dilapangan justru pada akhirnya proteksi dan lisensi yang diberikan pemerintah saat itu kepada pribumi, disewakan kepada pengusaha non pribumi (Thionghoa).
Pengusaha pribumi yang diberi lisensi hanya memilih ongkang-ongkang kaki, sementara yang menjalankan impor adalah pengusaha Thionghoa yang memang kita ketahui memiliki pengalaman.
Pengusaha pribumi lebih memilih keuntungannya dibagi dua, sehingga harapan pemerintah saat itu, ada tetesan dan rembesan kepada pribumi yang lain tidak terjadi, dan justru yang menjadi kenyataannya ekonomi tumbuh tinggi pada kelompok minoritas yaitu Thionghoa dan kelompok besar masyarakat kebanyakan tetap dalam kondisi yang kebagian kue pertumbuhan yang sangat kecil.
Ketika itulah kita mengenal adagium Ali-Baba yang sangat populer itu.
Ali adalah merepresentasikan kaum pribumi dan Baba adalah mewakili kelompok Thionghoa.
Inilah kisah munculnya Rent Seeking Behaviour di NKRI, yang masih menjadi legenda sampai hari sekarang, inilah kisah pemburu rente yang terjadi meskipun ditengah-tengah masyarakat sedang dalam kesulitan yang amat sangat, kisah ini masih sangat relevan, riil menjadi kekinian.
Karena Sejak itu, sejarah perburuan rente menjadi tak terpisahkan dengan perkembangan perekonomian di Indonesia sampai hari ini.
Tampilnya suatu rezim, saat ini seperti menyuburkan persekongkolan masif, para pemburu rente semakin mekar dan berada di berbagai level kekuasaan.
Ketika kolaborasi apik dikondaktori oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif yang menampilkan pagelaran kolosal dengan back up pemodal, pebisnis dan oligarki kekuasaan, menampilkan panggung sandiwara bersama akhirnya sempurnalah sudah.
Perilaku Rent seeking semakin tidak terkendali, karena hampir semua kegiatan dikendalikan secara apik oleh kolaborasi oligarki dengan penguasa.
Fenomena berikutnya, seolah sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihilangkan. Revolusi mental yang digagas suatu rezim, barangkali berharap bisa memberantas virus pemburu rente tersebut, tapi nyatanya juga hanya sebagai “jargon” tak bermakna.
Sepertinya kita masih membutuhkan waktu lebih lama lagi, komitmen yang sangat kuat lagi dan dilaksanakan secara konsisten dengan penuh kesabaran.
Bisa jadi si pelaku Rent Seeking ini bisa pejabat langsung yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kebijakan atau bisa juga pengusaha yang memiliki koneksi politik ke penguasa maupun para Buzzer yang diciptakan oleh Oligarki.
Para Oligarki ini memiliki pengaruh sangat besar dan juga dana yang “Unlimit “saat dibutuhkan” sehingga sulit digoyahkan. Jika ada yang mencoba menyerang, mereka akan menyerang balik dengan serangan yang lebih mematikan lewat “Insible Hands” yang mereka ciptakan.
Bahkan kajian tentang Economic politic tentang Rent Seeking, Gordon Tullock. Lewat publikasinya berjudul * The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft. *
Dia berbicara tentang pemberian hak kepengusaha oleh penguasa dan belakang berkembang menjadi hak monopoli dst.
Akhirnya semoga ulasan singkat ini ada guna dan manfaatnya.
Wallohu a’lam bissawab.
Catatan:
Dalam teori Rent Seeking yang saya maksud disini berbeda dengan teori Rent- dari Adam Smith. (Nf)
>