
SURABAYA -TARUNA NEWS COM Pengacauan dari mafia tanah dan peradilan mencuat lagi, kali ini mengancam rumah keluarga TNI AL Tri Kumala Dewi di Jalan dr Soetomo No. 55 Surabaya.
Kasus ini menarik perhatian serius dari Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Jatim. Organisasi ini bertekad turun tangan dan melawan praktik mafia hukum yang merugikan masyarakat.
“Kami akan berjuang habis-habisan melawan mafia tanah dan mafia peradilan. Semua elemen masyarakat diundang untuk bergabung. Hercules telah memerintahkan seluruh anggota GRIB Jatim untuk membantu mereka yang terzalimi,” ujar Pembina GRIB Jaya Jatim, drg. David Andreasmito, pada Senin (24/2/2025).
Sejarah Kepemilikan Tanah: Dari Laksamana Soebroto Hingga Tri Kumala Dewi
David menjelaskan bahwa rumah dan tanah yang kini dipermasalahkan memiliki sejarah panjang yang sah secara hukum. Tri Kumala Dewi adalah ahli waris dari Laksamana Soebroto Joedono, mantan Panglima Armada Nusantara yang memiliki keterkaitan dengan Pahlawan Nasional Yos Sudarso.
Pada 1 Desember 1963, Laksamana Soebroto menempati tanah dan rumah tersebut berdasarkan izin resmi dari TNI AL Cq. Kodamar IV Surabaya. Kemudian, pada 28 November 1972, rumah itu dibeli secara resmi dengan pembayaran lunas.
Sebagai pemilik yang sah, Tri Kumala Dewi telah membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 484 juta. Namun pada 1991, tiba-tiba ia digugat oleh seorang dokter bernama Hamzah Tedjakusuma, yang mengklaim memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 651/Kelurahan Soetomo.
Pertarungan Hukum yang Berkepanjangan
Gugatan Hamzah Tedjakusuma akhirnya dimenangkan oleh Tri Kumala Dewi pada 1997, setelah pengadilan menemukan bahwa sertifikat HGB yang diajukan sudah kadaluarsa sejak 1980.
Namun, masalah tidak berhenti di situ. Hamzah, melalui istrinya Tina Hinderawati Tjoansa, kemudian menjual surat tanah tersebut kepada Rudianto Santoso. Pada 2008, Rudianto menggugat kembali Tri Kumala Dewi dengan tuduhan pemalsuan dokumen.
Pada 2010, pengadilan memenangkan Tri, berdasarkan putusan sebelumnya. Rudianto bahkan ditetapkan sebagai tersangka dan dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada 2013 setelah laporan diterima di Polda Jatim.
Namun, kasus ini semakin rumit ketika, pada 2016, Rudianto yang masih berstatus DPO justru menjual surat tanah tersebut kepada Handoko Wibisono. Transaksi ini dianggap cacat hukum karena dilakukan tanpa pemeriksaan validitas dokumen oleh notaris.
Lebih parah lagi, pada tahun yang sama, Handoko menggugat Tri Kumala Dewi dan memenangkan perkara tersebut. Ironisnya, Tri malah diperintahkan membayar ganti rugi sebesar Rp 5,4 miliar untuk tanah yang sudah ia miliki secara sah selama bertahun-tahun.
Upaya Eksekusi Paksa Ditentang, GRIB Jaya Jatim Turun ke Lapangan
Meskipun ada berbagai kejanggalan dalam kasus ini, upaya eksekusi tetap dilakukan. Sekitar dua minggu lalu, ada pihak-pihak yang mencoba melakukan eksekusi paksa terhadap rumah dan tanah milik Tri.
Padahal, sesuai hukum yang berlaku, eksekusi tidak bisa dilakukan karena ada dua gugatan pembatalan akta jual beli di PN Surabaya yang masih dalam proses banding.
Selain itu, Handoko dan notaris yang terlibat, Ninik Sutjianti, juga sedang dalam penyelidikan Bareskrim Polri.
“Handoko ini dilaporkan ke Bareskrim sejak September 2024. Mungkin karena mereka tahu kasus ini akan naik ke penyidikan, jadi mereka buru-buru ingin melakukan eksekusi,” ucap David.
Melihat ketidakadilan yang terjadi, GRIB Jaya Jatim tidak diam. Bersama Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), dan Forum Komunikasi Putra-putri Angkatan Laut (FKPPAL), mereka siap membantu korban melawan praktik mafia tanah dan peradilan.
Ketua GRIB Jaya Jatim, Cak Ulum, menegaskan bahwa pihaknya akan turun langsung ke lapangan untuk menghadapi upaya eksekusi yang dinilai tidak sah.
“GRIB Jaya akan mendukung perlawanan eksekusi yang direncanakan pada Kamis (27/2). Kami akan berada di lokasi untuk memastikan bahwa tidak ada praktik mafia yang merugikan masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua MAKI Jatim, Heru Satriyo, memastikan bahwa pihaknya akan membawa kasus ini ke jalur hukum dan melibatkan Komisi Yudisial untuk mengawasi keputusan yang telah dikeluarkan Pengadilan Negeri Surabaya.
“Kami akan review kembali dan segera melaporkan kasus ini agar mendapatkan perhatian lebih dari aparat hukum,” pungkas Heru.(Dd)
>