

Di lain sisi, setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.
Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jalan Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda dibawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
Para pemuda pun marah, dirobeklah bendera merah – putih – biru itu sehingga menjadi hanya: merah – putih.
Diplomasi yang coba dibangun untuk insiden bendera merah – putih – biru itupun gagal.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris. Mulai dari kecil hingga membesar.
Kemudian Jenderal D.C. Hawthorn pun meminta bantuan Presiden Soekarno untuk meredakan situasi. Hingga ditanda-tangani gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris pada tanggal 29 Oktober 1945, yang menjadikan keadaan berangsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak lagi dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.
Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Tentu saja seluruh rakyat Indonesia tidak mau mematuhi ultimatum untuk menyerahkan persenjataan pada tanggal 10 November 1945. Maka terjadilah pertempuran yang dahsyat, namun dengan persenjataan yang sangat tidak berimbang dimana pihak Indonesia dengan persenjataan yang sederhana sedangkan pihak lawan dengan persenjataan yang modern dan jauh lebih lengkap. Namun semangat rakyat Indonesia terus membara. Bahkan dari penelusuran pasca pertempuran itu diketahui bahwa dari pihak Indonesia yang meninggal sekitar 20 ribu – 30 ribu orang, sedangkan dari pihak lawan yang meninggal hanya sekitar 2 ribu orang.
Namun momentum itu menjadikan Inggris tahu bahwa mereka bersalah jika membiarkan Belanda ingin menguasai Indonesia lagi. Akhirnya Inggris pun menyadari. Sehingga secara politis, Indonesia menang. Bahkan beberapa tahun kemudian dalam sidang di PBB, Inggris mendukung Indonesia.
Peristiwa yang heroik tidak bisa dilupakan oleh siapapun masyarakat Indonesia, juga tidak akan dilupakan oleh para tokoh Indonesia masa kini. Begitupun bagi Gardi Gazarin SH ketua Presidium ICK (Indonesia Cinta Kamtibmas), yang mengajak sesuai saran Presiden Jokowi, untuk saat ini harus mengenang jasa-jasa para pahlawan.
“Dan di tengah situasi-kondisi masih pandemi covid ini, spirit Hari Pahlawan kita pegang. Selamat HUT Hari Pahlawan, semoga spirit Hari Pahlawan mampu menjadikan Indonesia segera tuntas dari Covid-19,” ucap Gardi Gazarin yang juga wartawan senior yang pernah menjabat Ketua Forum Wartawan Polri (FWP) mabes pusat ini. Pendapat Anda? Sms atau WA kesini= 081216271926. (Siswahyu).
>